single-event-img-1

PATANJALA - BARESAN INCU PUTU PANGAUBAN- YAYASAN PUSTAKA BUANA NUSANTARA


 

PATANJALA

Patanjala merupakan sebuah metoda atau cara dalam penataan ruang/wilayah warisan leluhur masyarakat sunda berbsis Daerah Aliran Sungai (DAS), wujud atau cara patanjala dalam penataan ruang/wilayah yang berdasar pada daerah aliran sungai (DAS) merupakan acuan bagi penataan ruang/wilayah dalam satuan gunung sebuah pulau dan pulau-pulau dalam ikatan lautan/sagara, yang akan menjadi dasar bagi penataan ruang/wilayah buana.

Metode/cara penataan ruang/wilayah patanjala secara garis besar tercatat dalam Naskah Amanat Galunggung (Kropak 632, Ciburuy); “Kuna Urang Ala Lwirna Patanjala , Pata Ngaranna Cai, Jala Ngaranna Apya, Hanteu Ti Burungeun Tapa Kita Lamunna Bitan Apwa Teya, Ongkoh-ongkwah Dipilalweun Di Maneh, Genah Dina Kageulisan, Mulah Kasimwatan, Mulah Kasiweuran Ka Nu Miburungeun Tapa, Mulah Kapidenge Ku Na Carek Gwareng, Ongkwah-ongkoh Di Pitineungeun Di Maneh, Iya Rampes Iya Geulis. (Kita Tiru Wujud atau Cara Patanjala, Pata Berarti Air, Jala Berarti Sungai/wadah/Tanah, Tidak Akan Sia-sia Amal Baik Kita Bila (Kita) Meniru Sungai Itu. Terus Tertuju Kepada (Alur) Yang Dilaluinya, Senang Akan Keelokan, Janganlah Mudah Terpengaruh, Jangan Mempedulikan (Hal-hal) Yang Menggagalkan Amal Baik Kita, Jangan Mendengerkan Ucapan Yang Buruk, Pusatkan Perhatian Kepada Cita-cita Sendiri, Ya Sempurna, Ya Indah).

Dari yang tercatat dalam naskah amanat Galunggung tersebut kita bisa menyimpulkan, setidaknya ada tiga kata kunci dalam melakukan penataan wilayah, yaitu Ongkoh-ongkwah (Terus Tertuju, Konsisten, Panceg), Kageulisan (Keelokan, Keindahan, Kesempurnaan, Estetis, Tata Ruang/Tata Wilayah) dan Tapa (Amal Baik, Etis, Norma dan Hukum).

Penataan tataruang/wilayah yang dilakukan menggunakan metode Patanjala, pada prinisip dasarnya merupakan teknik (ala) dalam mengukur, menentukan dan menetapkan peruntukan wilayah: Larangan (konservasi), Tutupan (Lindung) dan Baladahan (kawasan produksi/perkampungan), serta menentukan kawasan untuk ditetapkan sebagai Kawasan Girang (Karamaan), Wilayah Tengah (Karesian) dan Wilayah Hilir (Karatuan), yang populer dengan nama Tritangtu Dibuana, Tritangtu Dibuana, tidak hanya berlaku pada penetapan ruang/wilayah dalam sekala DAS (Daerah Aliran Sungai), namun juga berlaku untuk penataan ruang/wilayah kawasan Nusa Jawa (Pulau Jawa) dan buana/dunia.

Penataan ruang/wilayah Patanjala tentunya tidak sekedar menjadi cara atau metode dalam menentukan batas-batas alam atau upaya pemulihan kerusakan alam, lebih jauhnya merupakan ikhtiar dalam membenahi kehidupan/zaman/peradaban yang mengalami krisis (lara-pati), sehingga laku patanjala merupakan aktifitas kehidupan/kahirupan yang menyangkut darma kepada Tuhan (laku spiritual/Kagustian) pengabdian/derma terhadap sesama manusia (laku kamanusaan) serta derma terhadap alam (laku Ka Alam an), dengan melakukan berbagai proses pembelajaran, diantaranya Tapa Di Salira (Kasaliraan), Tapa Di nagara/Balarea (kanagaraan) dan tapa di Buana (Kabuanaan). Serta melalui fase kabataraan (kosmologi), kadewaan (keilmuan) serta karatuan/kaprabuan (penerapan).

Penataan wilayah sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya peradaban, bagi masyarakat sunda menjadi sangat penting karena menyangkut tugas pengabdian dan ajaran darma hidup manusia di Dunia seperti yang tercatat dalam naskah Sanghyang Sasana Kreta, yaitu ajaran tentang kesejahteraan wilayah/Lingkungan dengan tujuan ngertakeun Bumi Lamba (Mensejahterakan Dunia Dan Seisinya).

Dalam kerangka ngertakeun bumi lamba (mensejahterkan dunia dan seisinya) metoda/cara patanjala memberikan arahan dalam pengelolaan tanah air dengan konsep Gunung Pangauban, dimana Gunung Sebagai tetengger nagara, Pangauban sebagai ciri dan cara bangsa.

 

BARESAN INCU PUTU PANGAUBAN

Pangauban berasal dari kata “Aub” artinya ikut serta atau hadir, dan “ngaub” artinya berlindung atau “ngauban” melindungi, awal “pa” dan akhiran “an” menunjukan tempat, jadi kata “pangauban” diartikan tempat perlindungan.

Salah satu acuan bagaimana kata panguban diletakan adalah bersumber dari potongan lagu atau rumpaka Cianjuran dalam Rajah siliwangi “nu murba di pajajaran, pangauban seuweu-siwi” yang artinya kurang lebih yang mengurus/menjaga pajajaran tempat perlindungan anak cucu.

Cikal bakal lahirnya Baresan Incuputu Pangauban (BIPP) tidak terlepas penerapan metoda/cara patanjala di berbagai Daerah Aliran Sungai (DAS) oleh masyarakat yang tinggal di Daerah Aliran Sungai tersebut, atau dengan istilah lain Seuweu-siwi/Incu Putu, yang di mulai dari tahun 2009.

Baresan Incu Putu Pangauban (BIPP) merupakan sebuah kelembagaan yang mewadahi incu-putu/ masyarakat berbagai pangauban yang sudah menerapkan patanjala sebagai  cara/metoda dalam penataan ruang/wilayah, pemulihan serta perbaikan Alam.

Baresan Incu Putu Pangauban (BIPP) di bentuk berdasarkan kebutuhan laku Kabuanaan/global yang diawali  dari munculnya Corona Virus Disease (COVID-19) yang di tetapkan masuk ke Indonesia pada tahun 2020.

Munculnya  Corona Virus Disease (COVID-19) atau dalam istilah lain Sasalad, bagi incu-putu pangauban sangat penting, karena merupakan bera gede/bera jaman (obahna jaman/perubahan jaman), hal ini salah satu nya berdasar atas amanat, optimisme dan harapan leluhur yang tertutur dalam pantun Bogor “jaga sunda bagean memeres jaman”/nanti orang sunda kebagian yang membenahi peradaban dan “sunda usik ku obahna jaman”/ sunda bergerak karena perubahan jaman.

Setelah sasalad/COVID-19 ditetapkan sebagai bera gede/bera jaman, incu putu dari berbagai pangauban melakukan “nambaan” setahun sekali selama tiga tahun dengan tahapan “pangreksaan”, “pangriksaan” dan “Pangraksaan”.

Hasil “Pangreksaan” (Aspek batin, gejala alam) dilakukan di tahun pertama ditetapkan per tanggal 19 Maret 2021 berlokasi di Syanghyang Sirah, taman Nasional Ujung Kulon yang terletak di Provinsi Banten. Kemudian tanggal ini menjadi titi mangsa 1 (satu) tahun tahapan pancen kabuanaan incu putu pangauban.

Hambalan kadua/tahapan kedua dan atau tahun ke 2 (dua) dari laku kabuanaan incu putu pangauban ialah Menyusun konsep/rarancang memeres/membenahi jaman/peradaban dengan titi mangsa 2021-2022, dideklarasikan di Syanghyang Dampal (Alas Purwo) Kabupaten Banyuwangi- Jawa Timur.

Kajian detail dalam Menyusun konsep memeres jaman direkomendasikan kepada Pangauban Ci Tarum setelah terlaksananya pancén/tugas hambalan/tahapan ke tiga laku kabuanaan tahun 2022-2023, yaitu pangraksaan, ngestokeun/menetapkan baresan/para pemangku pangauban Nusa Jawa.

Puncak hambalan/tahapan pangriksaan yang diselenggarakan bertempat di Kamojang Pangauban Ci Karo-Ci Tarum, menurunkan mandat pancen laku kabuanaan kepada Pangauban Ci Tarum, adapun Pupuhu/Pimpinan pangauban Citarum lungsur/jatuh kepada Gunung Masigit Kareumbi - Pangauban Ci Mande.

Hambalan katilu pancen laku kabuanaan, mungkas/mengakhiri nambaan sasalad (Panglulugu Pangauban Ci Tarum) ngelarkeun pangestoan Baresan Nusa Jawa, G. Raung (Jatim), G. Sumbing (Jateng) dan G. Sanggabuana (Banten). Dipungkas/diakhiri di Leuweung Sancang (Garut-Jawa Barat)

Agenda salajengna di jaman anyar/New Normal di 3 taun kahiji penyusunan dokumen memeres jaman. Taun kahiji: Usik ku obahna jaman  (Konsep Kesemestaan terkait gagasan memeres jaman), Taun kadua: Sunda pada nyambat (Penuangan Gagasan Memeres Jaman). Terakhir, taun katilu: Sunda Ngahampura (Pelaksanaan Gagasan Memeres Jaman).

Adapun Incuputu/pangauban yang tergabung di Baresan Incu Putu Pangauban (BIPP) saat ini adalah sebagai berikut :

  1. Gunung Sanggabuana - Pangauban Ci baerno 
  2. Gunung Halimun - Talaga Pangauban Cisukawayana
  3. Gunung Pangrango - Pangauban  Ci Liwung,
  4. Gunung Siang - Pangauban Ci Mandiri,
  5. Gunung Wayang - Pangauban Ci Tarum,
  6. Gunung Mandalagiri - Pangauban Ci Manuk.
  7. Gunung Mandalagiri - Pangauban Ci Sanggiri,
  8. Gunung Sintok- Pangauban Ci Sanggarung,
  9. Gunung Dieng - Pangauban Kaliserayu,
  10. Gunung Gedertilu -  Pangauban Ci Pasarangan,
  11. Gunung Cikuray - Pangauban Ci Kaengan ,
  12. Gunung Karacak - Pangauban Ci Wulan,
  13. Gunung Cakrabuana - Pangauban Ci Tanduy,
  14. Gunung Dieng - Pangauban Kaliserayu  
  15. Gunung Telemoyo - Pangauban Tuntang,
  16. Gunung Raung - Pangauban Bomo
  17. Gunung Raung - Pangauban Gelondong
  18. Gunung Tugu - pangauban Sagaraanakan,
  19. Gunung lobo butu - Pangauban Aesesa (NTT) 
  20. Gunung Bonto laja - Pangauban Maros (Sulawesi)
  21. Gunung Bongsu - Talang  Pangauban Kuranji (Sumata)

 

Pangauban yang tercatat diatas merupakan pangauban ageung yang berstatus Walungan (Sungai) Yang bermuara ke laut, Sementara pada internal tiap pangauban Ageung (walungan) memiliki keanggotaan/baresan incu-putu berdasar hirarki wujud patanjala yaitu, Wahangan (Subdas) sungai yang bermuara ke Walungan, Susukan (aliran air yang bermuara ke Wahangan), Solokan (aliran air yang bermuara ke Susukan) dan Seke.  

 

YAYASAN PUSTAKA BUANA NUSANTARA

sebuah lembaga yang didirikan untuk memaksimalkan kerja-kerja incu putu panguban dalam menjalani derma/bakti terhadap tanah air baik dalam laku kasaliraan, kanagaraan/balarea maupun kabuanaan.

Lembaga ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan gerak incu putu pangauban terutama dalam penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan penyusunan konsep-konsep membenahi peradaban (beberes zaman).

Pengemban mandat utama Yayasan Pustaka Buana Nusantara adalah pangauban Citarum yang terletak di wilayah tengah nusa jawa girang/barat pulau jawa sebagai wilayah resi di karamaan nusa jawa yaitu tepat menempa ilmu pengetahuan.  

  

Cag,.. adminnya ninyuh kopi heula